Sabtu, 03 Oktober 2020

CONTOH SURAT KUASA

                  SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini :

1. Nama:............, Umur 46 Tahun, Jenis kelamin : Laki-Laki, Pekerjaan : Perdagangan, Alamat :Sidorejo Rt. 00 / Rw 00 Ds Sidorejo, Kec Kauman. kab.Tulungagung

2. Nama:............,Umur 38 Tahun, Jenis kelamin : Perempuan, Pekerjaan : Perdagangan, Alamat : Sidorejo Rt. 00 / Rw 00 Ds Sidorejo, Kec Kauman. kab.Tulungagung   


Dalam hal ini memilih domisili tetap dikantor kuasanya yang disebut dibawah ini, dengan ini menyatakan memberi kuasa kepada :

                           HERI  IKHWANTO, S.H.,M.H.

Advokat dari Kantor Hukum HERI IKHWANTO ,S.H.,M.H.  & PARTNER’S yang beralamat di JL.Raya Bono boyolangu Ruko NO.06, Tulungagung – Jawa Timur-Telp.085732511000 – 082331844114, E-mail. Heriikhwanto25@gmail.com

                                       K H U S U S

Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa, mendampingi serta mewakili kepentingan hukum Pemberi Kuasa dalam Perkara.................


Selanjutnya dengan kuasa ini penerima kuasa berhak untuk :

Mewakili,mengurus,memperjuangkan hak-hak Pemberi Kuasa sesuai dengan undang-undang yang berlaku juga untuk menghadap,mendampingi dan hadir kepada kepolisian,kejaksaan,kehakiman,pejabat-pejabat dan kepada instansi baik swasta maupun negeri serta orang perorangan maupun badan hukum yang berkaitan dengan permasalahan tersebut diatas;

Bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa membuat,menandatangani serta mengajukan segala macam surat-surat yang berkaitan dengan penyelesaian persoalan tersebut diatas;

Mengajukan permohonan pemeriksaan serta membuat dan menandatangani risalah dan serta surat-surat yang diperlukan;

mengadakan perdamaian dengan syarat-syarat yang di anggap baik oleh yang di beri kuasa, meminta dan menerima penetapan-penetapan, putusan-putusan, melakukan peneguran-peneguran,dapat mengambil segala tindakan yang penting, perlu, dan berguna, sehubungan dengan menjalankan perkara, serta dapat mengerjakan segala sesuatu pekerjaan yang umumnya bisa di kerjakan oleh pemberi kuasa. Kekuasaan ini di berikan hak subtitusi, hak retensi.

                                                                                                                       Tulungagung, 01 Juni  20..

     PENERIMA KUASA.              PEMBERI KUASA




HERI IKHWANTO, S.H., M.H.           XXXXXXXXX

             Advokat


           

                                                

                                

                                 

Minggu, 22 Oktober 2017

HUKUM PERJANJIAN

Berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 KUHPer, para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya:
 
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
 
syarat-syarat sahnya perjanjian dalam KUHPer. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 – pasal 1337 KUHPer, yaitu:
 
1.   Kesepakatan para pihak. Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan (dwaling, mistake), paksaan (dwang, dures), dan penipuan (bedrog, fraud). Secara a contrario, berdasarkan pasal 1321 KUHPer, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.

2.   Kecakapan para pihak. Menurut pasal 1329 KUHPer, pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang.

3.      Mengenai suatu hal tertentu. Hal tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya. Menurut pasal 1333 KUHPer, objek perjanjian tersebut harus mencakup pokok barang tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya. Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa objek perjanjian adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan.

4.   Sebab yang halal. Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Hal ini diatur dalam pasal 1337 KUHPer.
 
Dari butir no. 4, dapat kita lihat bahwa suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang. Selanjutnya, bila kita lihat pada pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”), kita temui kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam kontrak:
 
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
 
Jadi, untuk kontrak yang para pihaknya merupakan WNI, wajib untuk menggunakan Bahasa Indonesia.
 
Hal demikian juga ditegaskan oleh Marianna Sutadi, mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI. Menurutnya, ketentuan pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 tidak hanya berlaku terhadap perjanjian antarnegara tetapi juga antarlembaga swasta Indonesia atau perseorangan WNI. Hal demikian dia sampaikan dalam Seminar Hukumonline 2009 yang bertajuk “Pembatalan Kontrak Berbahasa Asing” pada 16 Desember 2009.
 
Begitu pula dinyatakan oleh Rosa Agustina, Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurutnya, pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang berlaku di hukum perdata. Rosa menjelaskan asas kebebasan berkontrak tetap memiliki batasan, salah satunya undang-undang (lihat pasal 1337 KUHPer). Dia juga memandang rumusan pasal tersebut dapat meminimalisir selisih paham mengenai penafsiran serta istilah-istilah dalam perjanjian.
 
Tidak dipenuhinya ketentuan pasal 31 ayat (1) UU 24/2009, bisa menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut kebatalan demi hukum perjanjian yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia tersebut. Alasannya, kontrak tidak memenuhi unsur ‘sebab atau kausa yang halal’ sebagaimana disyaratkan pasal 1320 jo pasal 1337 KUHPer.

Jumat, 22 April 2016







Gambaran umum Korupsi di Indonesia Dan Jenis – jenis Korupsi:
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari KKN.
Jenis-Jenis Korupsi
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
  1. Kerugian keuntungan Negara
  2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
  3. Penggelapan dalam jabatan
  4. Pemerasan
  5. Perbuatan curang
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
  7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).
Persepsi Mayarakat tentang Korupsi
Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi oleh beberapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para korup-tor. Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata.